Mpu Tantular yang hidup pada abad ke-14 di Majapahit adalah
seorang pujangga ternama Sastra Jawa. Ia hidup pada pemerintahan raja
Râjasanagara. Ia masih saudara sang raja yaitu keponakannya
(bhrâtrâtmaja dalam bahasa Kawi atau bahasa Sansekerta) dan menantu adik
wanita sang raja. Nama “Tantular” terdiri dari dua kata: tan (“tidak”)
dan tular (“tular” atau “terpengaruhi”).
Artinya ia orangnya ialah “teguh”. Sedangkan kata mpu merupakan gelar
dan artinya adalah seorang pandai atau tukang. Tantular adalah seorang
penganut agama Buddha, namun ia orangnya terbuka terhadap agama lainnya,
terutama agama Hindu-Siwa. Hal ini bisa terlihat pada dua kakawin atau
syairnya yang ternama yaitu kakawin Arjunawijaya dan terutama kakawin
Sutasoma. Bahkan salah satu bait dari kakawin Sutasoma ini diambil
menjadi motto atau semboyan Republik Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika”
atau berbeda-beda namun satu jua.
Mpu Tantular dibesarkan dari darah keturunan filosof Jawa. Dia
berasal dari keluarga para Mpu. Kakenya, Danghyang Mpu Bharadah
mempunyai putra Iaki-laki dan keutamaan yoga beliau bernama Mpu Bahula.
Bahula berarti utama. Kepandaian dan kesaktian beliau di dunia sama
dengan ayahandanya Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri dari Rangdeng
Jirah – janda di Jirah atau Girah yang bernama Ni Dyah Ratna Manggali.
Kisah ini terkenal dalam ceritera Calonarang.
Beliau Empu Bahula berputra Iaki bernama Mpu Tantular, yang sangat
pandai di dalam berbagai ilmu filsafat. Tidak ada menyamai dalam soal
kependetaan, sama keutamaannya dengan Mpu Bahula, ayahandanya. Mpu
Tantular adalah yang dikenal sebagai penyusun Kakawin Sutasoma di mana
di dalamnya tercantum “Bhinneka Tunggal lka” yang menjadi semboyan
negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang Angsokanata.
No comments:
Post a Comment