Pasuruan – Selasa (14/2) pagi, Ibu Azizah (30), warga Desa Plinggisan
datang ke Puskesmas Ngempit, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan, Jawa
Timur, untuk konsultasi gizi putrinya, Arika yang masih berusia 7
bulan, karena bobot badan anak ketiganya itu mengalami penurunan.
Petugas gizi Puskesmas Ngempit, Melani mengatakan, bobot tubuh Arika telah mengalami peningkatan 1,3 kilogram setelah dilakukan tindakan medik beberapa pekan terakhir. Sebelumnya bobot tubuh Arika sempat anjlok akibat diare, dan batuk pilek.
“Meski bobot tubuh Arika belum ideal sesuai usianya, tapi peningkatan bobot tubuhnya sudah menunjukkan proses yang lebih baik,” kata Melani.
Kesehatan, serta tumbuh kembang bayi dan anak telah menjadi bagian dari kesadaran Azizah dan para ibu rumah tangga di desanya. Ia dan para ibu rumah tangga lainnya secara rutin sebulan sekali melakukan penimbangan bayi dan anaknya di Posyandu di lingkungannya.
Di Posyandu, selain kegiatan penimbangan untuk mengetahui tumbuh kembang bayi dan anak, juga dilakukan imunisasi, serta pemberian makanan tambahan untuk meningkatkan kualitas gizi bagi bayi dan anak.
Azizah mengatakan, ketiga anaknya juga selalu mendapat imunisasi lengkap, yakni hipatitis saat bayi lahir, BCG, DPT tiga kali, Campak, dan Polio empat kali bersamaan saat imunisasi BCG, dan DPT.
“Namun jika sewaktu-waktu anak saya mengalami gejala sakit, maka secepatnya saya melakukan konsultasi ke Puskesmas,” kata Azizah.
Management Representative Puskesmas Ngempit, Drg. Ahmad Afifudin menyebutkan, di Puskesmas Ngempit terdapat dua poli masing-masing, Poli MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit), dan Poli DDTKB (Deteksi Dini Tumbuh Kembang Bayi) yang keduanya menjadi proyek percontohan di Kabupaten Pasuruan.
“Maka seluruh pasien anak yang datang ke Puskesmas Ngempit selalu diarahkan ke Poli MTBS,” kata Afif, panggilan akrab sehari-harinya.
Sementara Poli DDTKB diarahkan untuk memantau kesehatan anak-anak prasekolah dengan menjalin kerja sama antarlembaga taman kanak-kanak (TK) di wilayah kerja Puskesmas Ngempit, Kecamatan Kraton.
Azizah juga ibu-ibu warga lainnya juga telah tumbuh kesadaran untuk selalu memeriksaan kehamilannya. Azizah mengatakan, selama tiga kali kehamilan, secara rutin ia selalu memeriksakan kehamlannya ke bidan desa atau ke puskesmas sejak usia kehamilan menginjak tiga bulan, hingga 9 bulan menjelang kelahiran.
Saat melakukan proses persalinan, Azizah juga selalu memilih didampingi bidan. Sehingga saat proses persalinan anak pertama yang sempat mengalami masalah karena tali pusar bayi bermasalah, maka bidan secara cepat bisa segera merujuknya ke Puskesmas Ngempit.
Afifudin menyebutkan, Puskesmas Ngempit juga telah menjadi Puskemas rawat inap yang memiliki kemampuan, serta fasilitas Pelayanan Osbtertrik dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED) yang siap selama 24 jam.
Sebagai Puskesmas PONED, kinerja Puskesmas Ngempit menjadi semakin meningkat. Kualitas penanganan kasus pasien patologi semakin membaik, sehingga kasus pasien yang dirujuk ke rumah sakit rujukan jumlahnya terus menurun.
Secara terprogram Puskesmas Ngempit juga melakukan pembinaan terhadap ibu-ibu hamil dengan membuka kelas ibu hamil di desa-desa yang dilaksanakan secara periodik tiga bulan sekali.
“Pembinaan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk membangun kedekatan terhadap para ibu hamil agar dalam persalinannya selalu meminta bantuan tenaga kesehatan,” kata Afif.
Yang menarik, Puskesmas Ngempit juga melakukan kerja sama pembinaan terhadap para dukun bayi. Dukun bayi tidak diizinkan lagi melakukan pertolongan persalinan.
Sebaliknya dukun yang masih didatangi ibu hamil diminta untuk aktif melaporkannya ke Puskesmas. Bagi dukun yang melaporkan atau mengantarkan ibu hamil ke Puskesmas diberi penghargaan (reward). Sehingga fungsi dukun dibatasi hanya pada pekerjaan untuk membantu pascapersalinan, seperti perawatan dan memandikan bayi.
Koordinator Bidan Puskesmas Ngempit, Sunarsih menjelaskan, para dukun yang masih ada di wilayah kerja Puskesmas Ngempit terus dibina, dan diberi bantuan modal kerja yang pengembaliannya dicicil dengan jasa pelayanan.
Bagi dukun yang mengantarkan persalinan ibu ke Puskesmas mendapatkan reward sebesar Rp 10 ribu yang dibayar oleh bidan mitranya untuk mencicil pinjamannya. Sementara jika mengantarkan ibu hamil baru untuk melakukan pemeriksaan ke Puskesmas, sang dukun mendapat reward sebesar Rp 5 ribu.
Sedangkan para dukun yang secara total sudah tidak melakukan praktik persalinan lagi diberi reward berupa kain panjang (jarik), atau kain kebaya.
Kerja sama kemitraan antara bidan dan dukun telah berhasil meningkatkan angka persalinan yang ditangani bidan, dan menurunkan angka persalinan yang ditangani dukun, serta sekaligus menurunkan jumnlah dukun itu sendiri.
Sunarsih menyebutkan, kasus persalinan di wilayah kerja Puskesmas Ngempit selama tahun 2009 yang ditangani bidan sebanyak 592 persalinan, sedangkan persalinan yang ditangani dukun hanya 7 persalinan.
Namun pada tahun 2010 kasus persalinan yang ditangani bidan meningkat mencapai 627 persalinan, sedangkan kasus persalinan yang ditangani dukun terus menurun hanya tinggal 4 persalinan saja. Bahkan selama tahun 2011 sudah tidak ada lagi kasus persalinan yang ditangani dukun.
Disebutkan, jumlah dukun di wilayah kerja Puskesmas Ngempit yang pada tahun 2009 masih tercatat 19 orang, memasuki tahun 2012 jumlah dukun turun tinggal 12 orang. Penurunan jumlah dukun, selain yang bersangkutan karena telah udzur usianya, juga karena ada larangan munculnya dukun bayi baru. Sehingga peran dukun dalam persalinan secara bertahap, dan pasti telah tergantikan oleh tugas bidan.
Untuk memantau kesehatan ibu dan anak di Puskesmas Ngempit juga dilengkapi perangkat software Pemantau Wilayah Setempat (PWS) Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) “Kartini’ untuk melakukan entri data. Sehingga data mulai dari wanita usia subur (WUS), Ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, dan balita semuanya terdata dengan akurat, karena data diperoleh dari para kader asuh kesehatan yang di setiap kegiatan Posyandu terdapat 5 orang.
“Para ibu dan balita, selain terdata secara akurat juga diketahui secara detail kondisi dan tempat tinggalnya,” kata Afif.
Para ibu yang mulai hamil satu bulan (K1) sudah dapat diketahui, sehingga pemeriksaan lengkap bagi ibu hamil (K4) bisa dilaksanakan minimal 4 kali selama masa kehamilan.
Afif menyebut, tingkat pemantauan ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Ngempit cukup tinggi mencapai sekitar 98 persen, sementara pemantauan ibu hamil di tingkat nasional baru mencapai sekitar 95 persen.
Ibu Azizah adalah salah satu dari ribuan ibu rumah tangga di Pasuruan yang telah meningkat kesadaran akan kesehatan dirinya dan anak-anaknya. Sementara Puskesmas Ngempit merupakan salah satu dari 33 Puskesmas yang masuk dalam jaringan tim program Kesehatan Ibu Bayi Baru Lahir dan Anak Balita (KIBBLA) di Kabupaten Pasuruan.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan, Dr. H. Bambang Heru W, M.Kes mengatakan program KIBBLA di Kabupaten Pasuruan telah berhasil menurunkan tingkat kematian anak, dan meningkatkan kesehatan ibu melebihi target tujuan pembangunan millenium atau Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015.
Keberhasilan tersebut yang kemudian mengantarkan Pemerintah Kabuaten Pasuruan mendapatkan penghargaan Indonesia MDG Awards (MA) 2011 dalam kategori program Kesehatan Ibu Bayi Baru Lahir dan Anak Balita (KIBBLA).
Bambang Heru menyebutkan, angka kematian bayi di Kabupaten Pasuruan yang pada tahun 2005 mencapai 10,46 persen per 1000 kelahiran, pada tahun 2011 turun menjadi 6,88 per 1000 kelahiran. Sementara target MDGs hinga tahun 2015 maksimal 58 per 1000 kelahiran.
Di Indonesia setiap 1.000 kelahiran, 40 diantaranya akan meninggal sebelum berusia 5 tahun. Sepertiga kematian bayi terjadi pada bulan pertama setelah kelahiran, 80 persen diantaranya terjadi pada minggu pertama.
Penyebab utama kematian adalah infeksi pernafasan akut, komplikasi kelahiran, dan diare. Selain penyebab utama, beberapa penyakit menular seperti infeksi radang selaput otak (meningitis), typhus, dan encephalituis juga cukup sering menjadi penyebab kematian bayi.
Statistik ini dikenal dengaan Angka Kematian balita (AKB). AKB Indonesia saat ini tertinggi diantara negara-negara ASEAN. Meski demikian Indonesia telah mencapai target tujuan MDGs ini.
Sedangkan angka kematian ibu di Kabupaten Pasuruan pada tahun 2005 yang masih mencapai 110,5 per 100 ribu kelahiran hidup, pada tahun 2011 turun menjadi 96,34 per 100 ribu per kelahiran hidup. Sementara target MDGs tahun 2015 angka kematian ibu maksimal 105 per 100 ribu kelahiran hidup.
Risiko kematian ibu karena proses kelahiran di Indoneia adalah 1 kematian dalam setiap 65 kelahiran. Setiap tahun diperkirakan terjadi 20.000 kematian ibu karena komplikasi sewaktu melahirkan dan selama kehamilan.
Penyebab utama kematian di Indonesia adalah haemorrhage, eclampsia yang menyebabkan tekanan darah tinggi sewaktu kehamilan, komplikasi karena aborsi, infeksi, dan komplikasi sewaktu melahirkan.
Meski Indonesia belum memiliki sistem pendataan yang baik untuk mendapatkan informasi menganai Angka Kematiaan Ibu (AKI), para ahli memperkirakan bahwa AKI pada tahun 1992 di Indonesia 425 per 100 ribu kelahiran hidup.
Namun lebih dari satu dekade kemudian angka tersebut berubah menjadi 307 per 100 ribu kelahiran hidup. Perubahan tersebut karena adanya perhatian khusus pemerintah terhadap daerah miskin terutama di bagian timur Indonesia, dimana banyak daerah yang masih memiliki tingkat kematian ibu tertinggi di Indonesia.
Data gizi buruk di Kabupaten Pasuruan juga turun, jika pada tahun 2005 di Kabupaten Pasuruan masih terdapat gizi buruk sebesar 2,56 persen dari populasi penduduk, pada tahun 2011 turun menjadi 0,12 persen dari populasi penduduk.
Bambang Heru menjelaskan, keberhasilan tersebut berkat upaya keras Pemerintah Kabupaten Pasuruan bekerja sama dengan Health Services Program (HSP) dalam meningkatkan kapasitas kemauan masyarakat dan petugas tentang arti pentingnya KIBBLA bagi kehidupan masyarakat.
Selain itu, lanjut Bambang Heru, perhatian khusus terhadap daerah miskin, terutama di daerah sulit, dimana banyak daerah yang masih memiliki tingkat kematian ibu tinggi dan juga karena daerah tersebut memliliki infrastruktur yang sangat terbatas.
Sedangkan trend angka kematian bayi yang terus menurun, kata Bambang Heru, karena hal tersebut telah menjadi perhatian, khusunya penanganan kelahiran bayi mulai dari Polindes hingga sampai rumah sakit.
Selain pelayanan kesehatan, juga dilakukan perubahan perilaku masyarakat yang paling rentan terhadap kamatian bayi. Hal tersebut termasuk peningkatan pengetahuan keluarga tentang status kesehatan dan nutrisi, serta pemberitahuan mengenai jangkauan dan macam pelayanan yang dapat digunakan.
Penurunan angka balita gizi buruk karena pada saat Musrenbang banyak usulan dari desa dan kecamatan yang meminta tambahan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi balita yang mendekati kurang gizi, sehingga tidak sampai terjadi kasus gizi buruk pada balita.
Dijelaskan, masih adanya kasus gizi buruk di Kabupaten Pasuruan bukan semata karena
faktor kekurangan makanan, tapi hanya disebabkan oleh penyakit penyerta, atau penyakit bawaan.
“Keberhasilan Kabupaten Pasuruan menurunkan tingkat kematian anak, dan meningkatkan kesehatan ibu, bukan semata keberhasilan outputnya saja, tapi karena Kabupaten Pasuruan juga dinilai berhasil dalam prosesnya pencapaiannya juga,” ungkap Bambang Heru.
Dijelaskan, program untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi di Kabupaten Pasuruan telah didukung oleh Perda inisiatiaf DPRD Kabupaten Pasuruan, Perbub, dan Perdes yang mengatur pelaksanaannya mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan, hingga desa.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kbupaten Pasuruan 2008-2013 dalam rangka penyelenggaraan pelayanan dasar bidang kesehatan kepada masyarakat, dan mewujudkan Indonesia Sehat tahun 2010, telah ditetapkan Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan sesuai Surat Keputusan Kesehatan.
“Standar pelayanan minimal bidang kesehatan adalah standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Pasuruan, dan merupakan tolok ukur kinerja pelayanan kesehatan yang meliputi jenis pelayanan beserta indikator kinerja,” kata Bambang Heru.
Dijelaskan, indikator kinerja pelayanan kesehatan di Kabupaten Pasuruan pada umumnya ditujukan pada peningkatan kesehatan dan keselamatan ibu melahirkan, dan penurunan angka kematian bayi.
Untuk mendukung program tersebut, lanjut Bambang Heru, Pemerintah Kabupaten Pasuruan bekerja sama dengan Health Services Program (HSP) tahun 2010 yang bertujuan untuk meningkatkan derajat masyarakat melalui percepatan penurunan angka kematian ibu, bayi baru lahir dan anak.
Lokasi kegiatan kerja sama dilaksanakan di 84 desa yang tersebar di 24 wilayah kecamatan, dan 33 puskesmas. Desa-desa yang mendapat pendampingan meliputi desa sulit atau terpencil, desa miskin, desa yang pernah ada kasus kematian ibu atau bayi, desa yang ada dukungan perangkat desa, serta partisipasi masyarakat.
Jenis kegiatan tersebut di tingkat kabupaten diantaranya, pelatihan Community Fasilitatir (CF) yang berasal dari unsur Pokja dan PKK kecamatan. Serta pembentukan tim KIBBLA terpadu kabupaten.
Di tingkat kecamatan diantaranya, selain pembentukan tim KIBBLA tingkat kecamatan, juga pelatihan penyegaran kader. Pelatihan pra musrenbang desa bagi fasilitator kecamatan. Pelatihan penyegaran program Gemerlap Bersama (Gerakan Memberdayakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Masyarakat).
Sedangkan kegiatan di tingkat desa diantaranya, pelaksanaan pra musrenbang, serta pelaksnaan kegiatan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K).
Kegiatan tersebut berakibat terjadinya pergeseran peruntukan belanja pada Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan, dengan komposisi belanja langsung pada tahun 2011 sebesar 53 persen, dan belanja tidak langsung (gaji) sebesar 47 persen.
“Ini artinya bahwa anggaran belanja di Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan banyak digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam pelayanan kesehatan masyarakat,” jelas Bambang Heru.
Anggaran belanja Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan setiap tahunnya juga mengalami kenaikkan. Anggaran yang pada tahun 2010 sebesar Rp 90,6 miliar meningkat menjadi Rp 91,4 miliar pada tahun 2011 yang didukung dari dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), dan dan jaminan persalinan (Jampersal).
Anggaran untuk KIBBLA di Kabupaten Pasuruan setelah dilakukan analisis belanja dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dari tahun 2009 dan 2011 juga naik sebesar 3 persen dari total belanja Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan.
Jika anggaran sebuah program akan terus mengalami kenaikkan adalah sebuah konsekuensi. Namun yang pasti program KIBBLA di Kabupaten Pasuruan telah memberi bukti menurunkan tingkat kematian anak, dan meningkatkan kesehatan ibu. (*)
No comments:
Post a Comment