Mpu Tantular, penyair yang menuliskan kisah Sutasoma, menghadirkan
karyanya sebagai persembahan kepada raja Wilwatikta (Majapahit), Sri
Rajasa. Judul resmi yang dibubuhkannya adalah Purusadhasanta. Artinya, penaklukan Raja Purusadha.
Syahdan, demikian kata Sang Empunya cerita, Negara Hastina diperintah
seorang raja bernama Sri Mahaketu. Sudah lama ia menantikan kelahiran
seorang putra untuk mengatasi huru-hara yang tengah melanda dunia. Para
perwira perang sudah berlaga dan para yogi juga telah berusaha, tetapi belum ada yang berhasil memadamkan huru-hara yang merembet bagaikan api Dewa Kala.
“Hanya Sang Putra,” nujum Munindra, kepala kaum bijak-cendekia, “yang akan mampu mengatasi lara itu semua.”
Masa itu digambarkan sebagai zaman Kali, zaman kegelapan.
Tetapi pada masa itulah, Sutasoma, Sang Putra yang dinubuatkan sebagai
pembebas dunia, lahir di marcapada. Para pemuka di bawah pimpinan Batara
Sakra beserta para kinara menyambut kelahirannya. Semua bersorak, “Dialah Jina yang mengambil rupa sebagai manusia.”
Menurut naskah Kakawin Sutasoma [1]
keonaran timbul di mana-mana lantaran banyaknya makhluk jahat dan
raksasa. Mereka menyebar ke segala wilayah, memenuhi hutan-hutan Negara
Ratnakandha.
Dengan beringas, para raksasa itu menyerang penduduk desa, merampas
harta, bahkan melantakkan tempat tinggal. Kejadian ini begitu menghantui
rakyat Hastina dan membuat khawatir para petapa.
Apakah demikian parah zaman Kali itu, sehingga hanya Hastina yang
diharapkan bisa meluruskannya? Bagaimana sebetulnya gambaran Negara
Ratnakandha, sampai-sampai rajanya diam saja kalau tahu negerinya
didiami para raksasa? Cok Sawitri (2009) [2] membantu kita untuk memahaminya.
Ratnakandha,
negara tetangga Hastina, sebetulnya dipimpin seorang raja bernama
Jayantaka. Ia adalah pemuja Syiwa. Setelah naik takhta menggantikan
ayahandanya yang mangkat, ia menetapkan dharma agama dan dharma negara.
Ia bercita-cita menerapkan ketertiban dunia dan memulihkan kewibawaan
negara. Guna mewujudkan hal itu, ia berkaul mempersembahkan 100 kepala
raja kepada Kala.
Namun desas-desus menyebar cepat dan menggegerkan dunia. Orang hanya
tahu Jayantaka berubah menjadi Purusadha, pelahap kepala raja.
Mpu Tantular membentangkan akhir kisahnya. Pertempuran tak terelakkan
antara Ratnakandha dan Hastina. Jayantaka yang mendapat anugerah Dewa
Rudra, beralih menjelma menjadi Kalagnirudra. Wajahnya demikian
menakutkan hendak meleburkan buana. Mulutnya menganga siap melahap tiga
dunia. Kegemparan menghinggapi para dewa. Brahma, Wisnu, Sakra, Baruna,
Yama, Dhanendra, Kuwera, Gana, dan Kumara, mereka datang bersujud,
memohon agar niat diurungkan. Para resi memanjatkan doa, melantunkan
Weda.
Dan inilah bagian kata-kata yang kini termasyhur itu, rwaneka dhatu winuwus wara buddha wiswa, bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, mangkang jinatwa kalawan siwatatwa tunggal, bhineka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa.
(Konon wujud Buddha dan Syiwa berbeda dan memang berbeda, tetapi
bagaimana mengenali keduanya berbeda kalau hanya dalam selintas pandang?
Karena kebenaran pada ajaran Buddha dan Syiwa sesungguhnya satu. Mereka
memang berbeda, tetapi hakikatnya sama karena tidak ada kebenaran yang
mendua.)
Kisah Sutasoma pada dasarnya mengajar kita untuk menghayati
keragaman. Usaha Purusadha dalam Kalagnirudra dapat berdampak
kehancuran. Sang Kala adalah Waktu. Ia adalah saksi seluruh kejadian di
dunia. Tugasnya adalah melahap segalanya, tetapi juga menjaga segalanya
sesuai masanya. Kemarahan yang berdaya rusak dan memusnahkan, semestinya
juga dapat disalurkan dalam wujud cinta kasih yang memelihara ciptaan.
Lewat pembacaan lagi kisah Sutasoma, semoga kita tercerahkan dan dapat
memetik hikmah untuk menghargai keanekaan sebagai anugerah yang patut
dirayakan.
Dirghayuh sira sang rumengsa tuwi sang mamaca manulisa (Semoga panjang umur semua yang mendengarkan, membaca, dan menyalinnya.)
No comments:
Post a Comment