Qubbatul Khadhra’ (kubah hijau) yang terlihat megah di Masjid Nabawi adalah menaungi kuburan jasad Rasul Saw yang mulia didampingi kedua sahabatnya sekaligus mertuanya yaitu Abu Bakar Siddiq ra, dan Umar bin Khattab ra.
Tempat tersebut dahulunya adalah rumah
baginda Rasul Saw karena setiap Rasul yang diutus oleh Allah Swt
dikuburkan di mana dia wafat. Sebagaimana sabda Nabi Saw: Tidak dicabut nyawa seorang Nabi pun melainkan dikebumikan dimana dia wafat. (HR. Ibnu Majah)
Sejarah bercerita, ketika Nabi sampai di Madinah, pertama sekali dikerjakan Nabi Saw adalah membangun Masjid Nabawi
dengan membeli tanah seharga 10 dinar kepunyaan dua orang anak yatim
Sahl dan Suhail berukuran 3 x 30 m. Bangunan yang sederhana itu hanya
berdindingkan tanah yang dikeringkan, bertiangkan pohon kurma dan
beratapkan pelepah kurma. Sebelah Timur bangunan Masjid Nabawi dibangun
rumah Nabi Saw, dan sebelah Barat dibangun ruangan untuk orang-orang
miskin dari kaum Muhajirin yang pada akhirnya tempat itu dikenal dengan
tempat ahli Suffah (karena mereka tidur berbantalkan pelana kuda).
Baru pada tahun ke-7 H, Nabi mengadakan perluasan Masjid Nabawi ke arah Timur, Barat, dan Utara sehingga berbentuk bujursangkar 45 x 45 m dengan luas mencapai 2.025 m2
dan program jangka panjang untuk memperluas Masjid Nabawi seperti yang
kita lihat sekarang ini diisyaratkan oleh Nabi Saw dengan sabdanya
menjelang wafat: “Selayaknya kita memperluas masjid ini”.Hingga pada tahun ke-17 H, Amirul Mukminin Umar
bin Khattab khalifah kedua, memperluas ke arah Selatan dan Barat
masing-masing 5 m dan ke Utara 15 m, dan dilanjutkan oleh Usman bin
Affan khalifah ketiga memperluas ke arah Selatan, Utara dan Barat
masing-masing 5 m pada tahun ke-29 H.
Akhirnya pada masa Khalifah Bani Umayyah Al-Walid bin Abdul Malik pada tahun 88 H, memperluas ke semua sisi Masjid Nabawi termasuk ke arah Timur (rumah Nabi) dan kamar-kamar isteri Nabi (hujurat)
sehingga makam Nabi Muhammad Saw, Abu Bakar Siddiq, dan Umar bin
Khattab termasuk bagian dari masjid dan berada di dalam masjid yang
sebelumnya terpisah dari masjid.
Inilah yang menjadi pembahasan para
ulama dan fukaha di dalam Fikih Islam, yaitu mendirikan bagunan seperti
rumah kubah, madrasah, dan masjid di atas kuburan. Karena Nabi Saw
bersabda : Allah mengutuk umat Yahudi dan Nasrani yang membuat kuburan para nabi mereka menjadi masjid-masjid (tempat peribadatan). (HR.
Bukhari Muslim)Hadis di atas dipahami oleh sebagian ulama terutama di
kalangan pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahab (Th. 1115 H/ 1703 M di
Masjid Saudi Arabia, dan aliran ini disebut oleh para rivalnya sebagai
aliran Wahabiyah, dan di Indonesia dengan aliran Salafi). Secara umum,
tidak boleh melakukan kegiatan ibadah di atas kuburan, berdoa menghadap
kuburan, dan membangun kubah di atas kuburan.
Sama ada di atas tanah wakaf atau di
atas tanah pribadi. Sama ada untuk tujuan penghormatan atau mengambil
berkah dan mengagungkan kuburan karena semua itu adalah perbuatan
sia-sia sebagaimana dipahami oleh Sayyid Sabiq di dalam Fikih
Sunnah-nya.Sejalan dengan tujuan berdirinya aliran Wahabiah ini untuk
memurnikan Tauhid, aliran ini cukup gencar memusnahkan kubah-kubah yang
dibangun di atas kuburan, batu-batu nisan yang bertuliskan nama-nama
yang sudah wafat, ayat-ayat Alquran yang tertulis di batu-batu nisan,
kuburan-kuburan para wali yang dikeramatkan agar jangan terjadi
khurafat, syiruk dan bid’ah di dalam Tauhid dan ibadah umat ini.Dan
siapa saja di antara umat Islam yang melakukan itu mereka bukan lagi
penganut Tauhid yang sebenarnya, karena mereka meminta pertolongan
bukan kepada Tuhan lagi, melainkan dari syekh atau wali dan dari
kekuatan gaib, dan orang-orang yang demikian juga menjadi
musyrik.Kenyataan itu dapat dilihat sampai sekarang, bagi jamaah haji
yang berkunjung ke makam Rasul, ke Baqi’, ke Ma’la, ke Uhud, dimana
para penziarah diusir karena mendoa menghadap ke kuburan Nabi Saw.
Demikian juga bila kita berziarah ke Baqi’ dan Uhud, tidak ada satu
kuburan pun yang diberi nama atau tanda untuk membedakan antara kuburan
sahabat-sahabat yang senior, para ahli hadis, bahkan kuburan Aisyah dan
isteri-isteri Nabi pun tidak dapat dibedakan. Kalau penziarah bertanya
kepada para “Satpam” kuburan baqi’ mana kuburan isteri Nabi? Mana
kuburan Usman bin Affan? Mereka hanya menjawab “ana la adri” (saya tidak tau).
Hingga sekarang mayat tersebut masih ada dan dapat disaksikan langsung dengan mata kepala. Bagi yang tidak dapat berkunjung ke sana dapat mengakses internet google “Ada Mayat di atas Kubah Masjid Nabawi”.Pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini, terlepas dari kebenarannya, bahwa kembali kepada Tauhid yang murni seperti zaman Rasul Saw adalah tujuan dari dakwah Islam dan misi para Rasul dan umat Islam mesti menerimanya, jika tidak ingin menjadi orang musyrik. Akan tetapi pemeliharaan nilai sejarah dan para pelaku sejarah juga penting, karena Allah berfirman : Sungguh di dalam sejarah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. (QS. Yusuf : 111).Akhirnya jika pelaku sejarah tidak boleh dikenang, tidak dimuliakan, tidak dihormati, kuburannya diratakan, bagaimana kita mengambil pelajaran dari sejarah tersebut? Adapun maksud Nabi Saw Allah mengutuk Yahudi dan Nasrani menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, adalah menyembah kuburan. Semoga kita dapat pelajaran. Wallahua’lam ***** (H.M. Nasir, Lc, MA : Penulis adalah Pimpinan Pondok Pesantren Tahfiz Alquran Al Mukhlisin Batubara, Pembantu Rektor IV Universitas Al Washliyah (UNIVA) Medan )
No comments:
Post a Comment